Pekanbaru, Taktiknews.com — Penanganan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan videotron di Dinas Komunikasi, Informatika, Statistik dan Persandian (Diskominfotiksan) Kota Pekanbaru tahun anggaran 2023 semakin menjadi sorotan publik. Nilai kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp972 juta kini dibayangi aroma ketidaktransparanan, usai nama seorang anggota DPRD Kota Pekanbaru inisial RP disebut dalam persidangan, namun tak kunjung jelas status hukumnya.
Kejaksaan Negeri (Kejari) Pekanbaru hingga kini dinilai publik enggan bersikap terbuka. Saat tim redaksi Taktiknews.com mencoba mengonfirmasi dugaan keterlibatan RP, baik Kepala Kejari Pekanbaru, Marcos, SH, maupun Kepala Seksi Pidana Khusus, Niky, sama sekali tidak memberikan tanggapan. Upaya konfirmasi melalui sambungan telepon, pesan tertulis, hingga kunjungan langsung ke kantor Kejari, tidak membuahkan hasil.
Ironisnya, Kasi Pidsus Niky sebelumnya sempat mengakui bahwa RP telah dua kali dipanggil dan diperiksa terkait kasus tersebut. Namun, hingga berita ini diterbitkan, belum ada kejelasan mengenai status hukum RP. Tak ada penetapan tersangka, tak ada keterangan resmi, dan tak satu pun pihak kejaksaan bersedia menjelaskan perkembangan penyidikan.
Kebisuan ini makin menguatkan dugaan publik tentang adanya praktik perlindungan terhadap oknum pejabat legislatif. Kecurigaan itu semakin mencuat usai fakta mengejutkan diungkap dalam persidangan pada Senin, 28 April 2025, di Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Dalam sidang tersebut, Santi, saksi dari Diskominfotiksan, menyebut secara terang bahwa anggaran pembuatan konten videotron berasal dari dana aspirasi anggota DPRD Pekanbaru bernama Roni Pasla.
“Anggaran itu berasal dari dana pikir anggota DPRD Pekanbaru, Roni Pasla, sebesar satu miliar rupiah,” kata Santi di hadapan majelis hakim.
Pernyataan tersebut dilontarkan di bawah sumpah. Fakta ini seharusnya cukup menjadi dasar kuat bagi Kejari Pekanbaru untuk mendalami lebih lanjut dugaan keterlibatan RP. Namun, kembali, Kejari memilih diam. Saat informasi tersebut dikonfirmasi ulang, jawaban yang diterima tim media pun nihil.
Salah satu jurnalis dari tim peliputan mengungkapkan, upaya konfirmasi dilakukan demi menghadirkan pemberitaan yang berimbang dan faktual. Namun, sikap tertutup aparat penegak hukum justru menimbulkan pertanyaan besar.
“Jika tidak ada yang disembunyikan, mengapa mereka enggan memberikan klarifikasi terbuka? Ini menimbulkan dugaan kuat bahwa ada upaya perlindungan terhadap RP,” ujarnya.
Kabar keterlibatan oknum dewan dalam proyek ini sejatinya sudah lama menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Bahkan sejumlah aksi unjuk rasa dari berbagai aliansi mahasiswa telah digelar di depan Kantor Kejari Pekanbaru dan DPRD Kota Pekanbaru, menuntut Kejari segera menetapkan RP sebagai tersangka. Spanduk dan selebaran yang mengecam lemahnya penegakan hukum juga mulai bermunculan di berbagai sudut kota.
Sayangnya, Kejari Pekanbaru terkesan “tuli dan buta”. Fakta di persidangan diabaikan, aspirasi publik ditampik, dan ruang komunikasi dengan media ditutup rapat-rapat.
“Sudah viral di media sosial dan jadi pembicaraan masyarakat. Tapi Kejari tetap diam. Tugas kami sebagai media adalah menggali fakta, bukan membentuk opini. Tapi jika fakta terus diabaikan, opini publik akan terbentuk dengan sendirinya,” tegas salah satu jurnalis tim peliput.
Hingga berita ini diterbitkan, konfirmasi yang dilayangkan ke Kepala Kejari Pekanbaru, Marcos, SH, dan Kasi Pidsus Niky melalui pesan WhatsApp pada Minggu pagi (4/5/2025), belum mendapatkan balasan.
Publik kini menanti keberanian Kejari Pekanbaru dalam menuntaskan kasus ini secara transparan dan akuntabel. Sebab, di balik kasus videotron senilai Rp972 juta ini, lebih dari sekadar anggaran negara yang dipertaruhkan—melainkan juga kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum.